Jumat, 18 Maret 2011

Permainan Jaranan

Permainan Jaranan

Mungkin terinspirasi terhadap hewan kuda (bahasa Jawa: jaran) sebagai binatang tunggangan, maka anak-anak di masyarakat Jawa menciptakan sebuah dolanan anak yang disebut jaranan ‘kuda-kudaan’. Bentuk, gambar, dan hiasan-hiasannya memang dibuat menyerupai hewan kuda. Akhirnya mainan itu biasa disebut jaranan. Hampir di setiap daerah di wilayah Jawa mengenal dolanan khas ini. Hingga sekarang masih banyak dijumpai dolanan model ini di berbagai pelosok wilayah Jawa, khususnya apabila ada pasar malam, pertunjukan wayang kulit, pasar-pasar tradisional, cembengan, sekaten, atau pertunjukan tradisional lain saat perayaan merti dhusun (nyadran). Seni tradisional Jawa bahkan ada pula yang memakai jaranan sebagai salah satu alat untuk pertunjukannya, misalnya Jathilan. Hanya saja, bentuk dan ukurannya lebih besar, sesuai dengan postur orang dewasa.
Kamus (Baoesastra) Jawa karya W.J.S. Poerwadarminto terbitan Groningen Batavia tahun 1939 halaman 82 pun telah mencatat istilah jaranan sebagai salah satu bentuk dolanan anak di masyarakat Jawa. Dalam kamus itu diterangkan bahwa jaranan adalah bentuk suatu dolanan ‘permainan’ yang menyerupai jaran ‘kuda’. Berarti memang sebelum tahun 1939, jaranan sudah menyebar di masyarakat Jawa sebagai salah satu bentuk permainan yang sering digunakan oleh anak-anak.


Jaranan biasanya dibuat dari bahan gedheg ‘dinding bambu’ yang dibentuk menyerupai jaran ‘kuda’. Selesai dibentuk menyerupai kuda, dibingkai dengan belahan bambu di semua pinggirnya. Juga digambari dengan cat atau sejenisnya sehingga terlihat gambar kuda. Tidak lupa dihiasi dengan rumbai-rumbai di sekitar leher dengan rafia. Ukuran untuk anak-anak biasanya tidak lebih dari 40 cm (tinggi) dan 100 cm (panjang). Namun begitu, untuk bahan yang lebih sederhana, biasanya jaranan dibuat dari pelepah daun pisang. Setelah daunnya dibuang, pelepah dierati beberapa bagian lalu dibentuklah menyerupai jaranan. Lalu diberi tali di bagian kepala dan ekor. Tali tersebut dikalungkan di leher anak yang bermain jaranan ini. Di beberapa daerah, seperti di Kulon Progo, seperti yang pernah dijumpai oleh Tembi, jaranan dibuat dari bahan ‘bonggol’ bambu. Bonggol bambu ini dibuat menyerupai kuda dan dimodifikasikan dengan kayu lain yang digunakan sebagai tubuh kuda-kudaan. Jadilah dolanan yang disebut jaranan. Ada pula yag dibuat dari kayu dengan kepala mirip kuda dan bagian tubuh dibuat bergoyang, sehingga anak-anak bisa duduk dan bermain di atasnya. Kiranya yang disebut terakhir ini adalah mainan inovasi baru, yang dulu belum dikenal.


Bahkan hingga saat ini masih banyak pula di masyarakat Jawa yang melestarikan seni tradisi Jathilan. Seni tradisi ini sering pula disebut kuda lumping karena menggunakan media utama berupa jaranan. Hanya ukuran jaranan ini lebih besar sesuai dengan postur orang dewasa yang memainkan. Dalam seni tradisi Jathilan biasanya sudah dilengkapi dengan tabuhan musik tradisional dan seringkali dipertontonkan dalam berbagai acara, seperti festival, pasar malam, penyambutan tamu, upacara tradisi, dan sebagainya.


Anak-anak yang bermain jaranan bisa sendirian atau bisa pula berkelompok dengan teman-temannya. Saat ini, dalam bermain jaranan, biasanya anak-anak tampil dalam acara festival. Bahkan dolanan ini juga dilengkapi dengan syair yang berjudul “Jaranan”. Teks lengkapnya demikian:


Jaranan, jaranan, jarane, jaran teji
sing nunggang dara Bei
sing ngiring para mantri
jret-jret nong
jret-jret gung
srek-srek turut lurun
gedebug krincing, gedebug krincing
prok, prok, gedebug jedher

Jeg-Jegan atau Jek-Jekan

Jeg-Jegan atau Jek-Jekan

Untuk permainan anak yang satu ini lebih sering dimainkan oleh anak laki-laki daripada anak perempuan. Namun begitu, kadang pula dimainkan oleh anak perempuan saja atau campuran, yakni anak laki-laki dan perempuan.Permainan jeg-jegan membutuhkan kecepatan berlari dan kekuatan fisik, sehingga lebih banyak dimainkan oleh anak laki-laki daripada perempuan. Di tempat lain, permainan ini juga disebut betengan, karena memang memerlukan tempat bersinggah atau markas bagi kedua kubu pemain. 
Istilah jeg-jegan berasal dari kata jeg yang artinya menduduki. Jadi jeg-jegan adalah suatu permainan, di mana pemain yang kalah harus meninggalkan tempat markasnya dan harus berpindah ke markas lain setelah diduduki oleh pemain lawan. Demikian pula dengan istilah betengan yang sering dipakai di tempat lain. Betengan berasal dari kata beteng. Beteng adalah satu tempat yang biasanya menjadi pertahanan suatu pasukan. Jika suatu kelompok pasukan kalah maka ia harus meninggalkan betengnya.

Permainan jeg-jegan atau betengan sering dimainkan oleh dua regu yang saling berhadapan, misalnya regu I (anggota A,B,C,D,E) berhadapan dengan regu II (anggota F,G,H,I, dan J). Setiap regu atau kelompok idealnya dimainkan lebih dari 4 orang agar permainan bisa berjalan seru. Namun bisa juga dimainkan kurang dari 4 orang untuk setiap regu. Masing-masing regu diwakili oleh seorang anggotanya, sebelum bermain melakukan “sut” untuk menentukan kalah menang. Misalkan, regu I kalah dan regu II menang. Selain itu keduanya juga harus menentukan markas, bisa berujud pohon, tiang, dan sebagainya. Sebisa mungkin, kedua markas itu berjarak sekitar 10-20 meter. Selain itu juga sudah harus ditentukan tempat penjara (berupa garis melingkar) yang biasanya dibuat sejajar dengan masing-masing beteng yang jaraknya sekitar 3-5 meter. Bagi regu yang kalah biasanya harus memancing diri untuk keluar dari markas/beteng, yang sebelumnya harus memegang beteng.

Pemain kalah, misalnya A, yang keluar dari markas. Maka ia bisa dikejar oleh pemain lawan, misalnya F. Sebelumnya, pemain F juga harus sudah memegang beteng. Jika pemain A tadi bisa terkejar dan tertangkap pemain F, maka pemain A harus menjadi tahanan regu II. Ia harus dipenjara di tempat yang sudah disediakan di dekat beteng regu II dengan cara berdiri. Anggota regu I, misalkan B, berusaha untuk membantu meloloskan temannya yang tertangkap. Sebelumnya pemain B juga sudah harus memegang beteng. Saat akan meloloskan A, ia juga bisa menangkap pemain F yang belum kembali ke markas. Begitu seterusnya saling mengejar dan meloloskan kawan yang tertangkap lawan. Setiap pemain yang telah kembali ke markasnya dianggap lebih kuat daripada pemain lawan yang tidak kembali ke markasnya.

Bisa jadi saat berkejar-kejaran, anggota regu I ada yang menyelinap dan memegang beteng lawan. Maka regu I dianggap menang. Tetapi saat ia akan memegang beteng lawan, keburu ditangkap regu II, maka ia juga ikut tertangkap dan menjadi tahanan. Begitulah seterusnya, regu yang pertama kali dapat menduduki atau memegang beteng lawan dianggap menjadi pemenang. Jika regu I dapat menduduki markas lawan, maka regunya mendapat nilai 1. Permainan bisa diulangi kembali seperti semula.

Tentu permainan ini membutuhkan sportivitas dari setiap pemain. Jika ada yang bermain curang, tentu ia akan selalu diancam oleh teman lainnya dan tidak akan dipercaya lagi untuk ikut bermain. Selain itu permainan ini juga membutuhkan kerjasama yang baik di antara anggota dalam satu tim atau regu. Setiap pemain harus bisa mengetahui posisinya sebagai penunggu markas atau pecundang. Tidak boleh saling egois. Jika larinya tidak bisa kencang, maka lebih baik berposisi penunggu markas. Begitulah permainan ini yang masih sering dimainkan oleh anak-anak di masyarakat Jawa di era tahun 1980-an. Tentu berbeda dengan situasi sekarang.

Permainan Gamparan

Permainan Gamparan

Pernahkah Anda mendengar permainan gamparan? Memang begitu asing di telinga kita jenis permainan anak tradisional satu ini, lebih-lebih bagi anak-anak sekarang. Namun tidak untuk anak-anak yang hidup di era sebelum tahun 1970-an lalu. Anak-anak masyarakat Jawa terutama yang hidup di kala itu, permainan tradisional gamparan begitu akrab di telinga mereka, karena permainan jenis ini sering dilakukan saat mereka sedang bermain-main di waktu senggang atau liburan. Nama permainannya begitu unik kan?
Istilah “gamparan” berasal dari bahasa Jawa yang berasal dari kata dasar “gampar”. Kata “nggampar” seperti dalam Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939) halaman 130 kolom 1 berarti ‘menendang, melemparkan batu dengan menggunakan bantuan kaki’. Sementara istilah “gamparan” berarti jenis permainan anak dengan alat batu yang dilemparkan’. Ternyata istilah dolanan “gamparan” sudah tercantum di dalam kamus yang berusia lebih dari 70 tahun. Dimungkinkan sebelum istilah gamparan ini masuk dalam kamus, kiranya sudah menjadi permainan yang sering dimainkan oleh anak-anak di kalangan masyarakat Jawa.

Sesuai dengan penjelasan di atas, permainan gamparan menggunakan media bermain berupa batu. Namun kadang kala dipadukan dengan media pecahan tegel atau batu bata. Selain media tersebut, anak-anak hanya membutuhkan tanah lapang yang agak luas kira-kira 5 x 10 meter. Semakin banyak pemain, biasanya semakin membutuhkan halaman yang luas. Permainan gamparan biasa dimainkan di halaman depan atau belakang rumah. Biasa juga dimainkan di tanah lapang, yang penting halaman terbebas dari rumput agar mudah terlihat dan bermain. Sangat jarang dimainkan di halaman bersemen, karena dapat memudahkan batu, batu bata, atau pecahan tegel pecah. Lebih baik lagi jika halaman yang dipakai bermain banyak pepohonan untuk menghindari sinar matahari sekaligus untuk berteduh dan terhindar dari panas. Anak-anak yang bermain gamparan biasa mengambil waktu di pagi, siang atau sore hari. Sangat jarang mengambil hari malam biarpun terang bulan, karena permainan ini membutuhkan penerangan cukup.

Permainan gamparan selalu dimainkan oleh anak-anak sebaya secara berpasangan. Minimal dimainkan oleh dua anak. Namun kebanyakan dimainkan lebih dari 4 anak, bisa 6, 8, atau 10 anak. Mereka yang bermain gamparan umumnya anak-anak berumur sekitar 9—14 tahun. Lebih sering dimainkan oleh anak-anak laki-laki. Tetapi kadang juga dimainkan campuran. Asalkan setiap pasangan sebaya, misalnya laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.

Awalnya setiap anak yang akan bermain gamparan telah menyiapkan alat gampar batu yang disebut “gacuk” dengan diameter sekitar 5—7 cm. Besarnya batu sebaiknya disesuaikan dengan ukuran kaki. Batu yang menjadi gacuk sebaiknya berbentuk pipih dan agak lonjong. Selain itu juga setiap pasangan harus menyiapkan sebuah batu agak besar sebagai “gasangan” dengan diameter sekitar 10—20 cm. Jika pemain terdiri dari 3 pasang, maka harus menyediakan batu gasangan 3 buah. Batu pasangan juga sebaiknya yang berbentuk pipih dan ada sisi yang datar agar mudah berdiri tegak. Batu gasangan dipilih batu yang keras karena sering terhantam atau terlempari batu “gacuk”. Kalau tidak ada batu pipih besar, bisa digantikan dengan pecahan tegel atau sejenisnya.

Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus menyiapkan tanah lapang cukup luas, misalnya di halaman depan rumah. Setelah itu, mereka setidaknya membuat dua atau tiga garis di tanah, bisa dengan kayu, air, atau batu kapur yang lembut. Setiap garis dengan panjang antara 2—4 meter, tergantung jumlah pasangan yang bermain. Sementara jarak garis pertama dengan garis kedua kira-kira 2 meter, sementara jarak garis kedua dengan garis ketiga kira-kira 4—5 meter. Sebenarnya jarak antar garis, seperti garis pertama dan ketiga bisa disepakati oleh anal-anak yang bermain. Garis saku atau garis lempar berfungsi untuk batas melempar gacuk ke arah batu gasangan. Sementara garis gasangan berfungsi untuk menempatkan batu-batu gasangan setiap pasangan. Setelah garis selesai, setiap pasangan melakukan “sut” untuk menentukan menang-kalah. Bagi anak-anak yang kalah berkumpul menjadi satu regu, begitu pula yang menang. Permainan gamparan dilakukan empat tahap.

Tahap pertama, anak yang kalah berdiri di dekat garis gasangan. Jika batu gasangan belum berdiri, maka tugasnya mendirikan batu gasangan. Sementara semua anak yang menang berjajar di belakang garis 1 dengan membawa batu “gacuk”. Setiap anak menfokuskan pada masing-masing batu gasangan. Setelah itu satu-persatu melemparkan batu “gacuk” ke arah batu gasangan dengan cara dilempar dengan tangan dan diusahakan mengenai batu gasangan sehingga roboh atau terlempar. Jika ada salah satu anggota yang berhasil merobohkan batu “gasangan”, otomatis langsung dilanjutkan ke permainan tahap kedua. Namun, jika dalam satu regu tidak ada yang bisa merobohkan batu “gasangan”, maka, batu-batu “gacuk” yang telah dilempar mendekati batu “gasangan” itu harus dilempar lagi ke sasaran batu “gasangan”. Namun lemparan kedua ini harus dilempar lewat bawah pantat. Pelemparan seperti ini, satu kaki dalam posisi lutut di tanah, sementara posisi kaki lain seperti berjongkok. Selain itu, jika batu “gacuk” berada kurang dari satu langkah dengan garis maka pelemparan dilakukan dengan tangan kiri, namun jika batu “gacuk” lebih dari satu langkah dengan garis, maka pelemparan dilakukan dengan tangan kanan.

Permainan Egrang bathok kelapa

Permainan Egrang bathok kelapa

Selain mengenal egrang dari bambu, anak-anak masyarakat Jawa masa lalu juga mengenal egrang bathok. Egrang jenis terakhir ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa yang dipadu dengan tali plastik atau dadung. Fungsi utama sama, seperti alat dolanan lain, yakni diciptakan dan dibuat untuk bermain bagi dunia anak. Dolanan egrang bathok tidak terbatas untuk dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga kadang dipakai untuk bermain anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan ke atas masing-masing tempurung, kemudian kaki satu diangkat, sementara kaki lainnya tetap bertumpu pada batok lain di tanah seperti layaknya berjalan.
Permainan tradisional yang menggunakan alat seperti permainan egrang bathok ini, pada umumnya bahan dasarnya banyak diperoleh di sekitar lingkungan anak. Bathok dalam bahasa Indonesia disebut tempurung. Tempurung yang dipakai biasanya berasal dari buah kelapa tua yang telah dibersihkan dari sabutnya. Kemudian tempurung itu dibelah menjadi dua bagian. Isi kelapa dikeluarkan dari tempurung. Tempurung yang terbelah menjadi dua bagian ini kemudian dihaluskan bagian luarnya agar kaki yang berpijak di atasnya bisa merasa nyaman. Masing-masing belahan tempurung kemudian diberi lubang di bagian tengah. Masing-masing lubang tempurung dimasuki tali sepanjang sekitar 2 meter dan diberi pengait. Tali yang digunakan biasanya tali lembut dan kuat, bisa berupa tali plastik atau dadung yang terbuat dari untaian serat. Jadilah sebuah permainan tradisional yang disebut egrang bathok.

Permainan egrang bathok bisa dimainkan secara individu maupun kelompok. Kadang-kadang, permainan ini di masa-masa lalu, biasa pula dipakai untuk perlombaan. Tentu di sini anak diuji ketangkasan dan kecepatan berjalan di atas egrang bathok. Anak yang paling cepat berjalan tanpa harus jatuh dianggap sebagai pemenang. Namun sering pula secara individu anak bermain egrang bathok dalam situasi santai. Pada saat ini, permainan jenis ini sudah sangat jarang dijumpai di lingkungan masyarakat Jawa. Tidak mesti setiap anak terbiasa lagi membuat alat permainan ini. Begitu pula belum tentu pasar tradisional menjual alat permainan ini. Memang saat ini sangat sulit mencari alat permainan ini di pasaran. Paling-paling, hanya ada satu dua koleksi yang diproduksi atau kebetulan disimpan oleh instansi yang peduli, seperti museum dolanan anak, balai penelitian atau orang yang peduli terhadap permainan tradisional.

Anak-anak sekarang memang tidak harus memainkan kembali permainan-permainan tradisional, termasuk dolanan egrang bathok. Namun paling tidak generasi tua saat ini bisa mengenalkan kepada generasi muda sekarang. Tentu dengan harapan agar generasi muda sekarang bisa mengenal sejarah kebudayaan nenek moyangnya, termasuk dalam lingkup permainan tradisional dan akhirnya bisa menghargai karya dan identitas bangsanya sendiri walaupun teknologi yang diterapkan kala itu sangat sederhana. 

permainan makahi

Makahi mengandung arti ‘bela diri’, yaitu suatu dasar-dasar pembelaan diri yang nantinya akan digunakan untuk permainan-permainan yang lebih besar lagi. Orang dapat menyebutnya bela diri, karena sifat permainan ini membela diri dari serangan seorang lawan dan dapat pula ia menyerang lawannya sendiri. Permainan ini ada di daerah Halmahera, Kabupaten Maluku Utara. Tujuan dari permainan makahi adalah untuk melatih keterampilan menyerang dan mengatasi setiap penyerangan.
Permainan makahi dapat dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa pria. Jumlah pemain terdiri dari dua orang (satu pasang) untuk sekali bermain. Jalannya permainan akan diawasi oleh pengawas (orang dewasa) yang dianggap cakap dan berwibawa, yang dapat membuat pemain mematuhi aturan permainan yang berlaku.

Permainan makahi dilakukan sewaktu terang bulan setiap bulan Ramadhan, di atas pasir putih pesisir pantai atau di halaman rumah. Makahi tidak memerlukan alat-alat apapun kecuali tangan. Mereka hanya mempergunakan tangan kanan dan tangan kiri sebagai pedang dan perisai.

Aturan Permainan:
1. Pengundian nomor urut pemain yang nantinya harus berhadapan.
2. Setiap pemain tidak boleh memakai benda-benda yang tajam atau memakai cincin yang dapat membahayakan lawan.
3. Pemain tidak boleh memakai alas kaki dan harus mengenakan kain pengikat pinggang.

Setelah semua aturan dilaksanakan, maka permainan pun dimulai. Pengawas akan mengundang dua orang pemain yang nomor urutnya telah diundi untuk masuk ke arena untuk diperiksa kondisi fisiknya, dan meneliti apakah ada barang-barang yang tidak boleh dibawa peserta.
Setelah semua selesai, pertandingan pun dimulai. Kedua peserta akan saling menyerang dengan menggunakan tangan kanan sebagai pedang dan tangan kiri sebagai perisai. Bagi pemain yang dapat memotong lawannya maka ia akan mendapatkan satu poin yang nantinya akan dijumlahkan setelah waktu pertandingan dinyatakan berakhir. Menang atau kalahnya seseorang ditentukan oleh banyak sedikitnya poin yang didapat. Bagi pemain yang banyak memotong lawannya, maka ia akan banyak mengumpulkan poin dan dinyatakan sebagai pemenangnya.

permainan rebana-rebanaan

permainan rebana-rebanaan

Bentuknya memang mirip dengan alat musik tradisional rebana yang terbuat dari kulit. Namun untuk rebana yang satu ini ukurannya lebih kecil dan bahannya pun berbeda, sehingga namanya pun rebana-rebanaan karena menyerupai rebana. Sebagian anak lain menyebut mainan ketipung-ketipungan. Bisa jadi anak-anak di lokasi lain menyebutnya dengan nama lain pula. Mainan tradisional satu ini terbuat dari gerabah berlubang tengah yang diberi kertas semen. Sementara pemukulnya terbuat dari potongan lidi, bilahan bambu atau kayu yang diberi tanah liat atau karet di salah satu sisi ujungnya. Bisa jadi dipukul dengan jari-jari tangan. Jenis mainan ini pernah dipakai bermain oleh anak-anak kecil di masyarakat Jawa lebih dari 30 tahun lalu. Bahkan sekarang pun masih ada sebagian kecil anak-anak yang memainkan alat ini, walaupun sudah dikatakan sudah jarang.
Anak-anak biasanya tidak membuat sendiri dolanan tradisional jenis satu ini, melainkan membeli di pasar tradisional atau pedagang mainan keliling. Namun begitu saat ini sudah tidak banyak pasar-pasar tradisional maupun pedagang mainan keliling yang menjual jenis mainan ini karena terdesak oleh mainan jenis modern yang lebih awet. Tentu selain itu pembuat mainan ini juga sudah langka mengingat prospek penjualannya yang agak seret. Tetapi kadang-kadang, tidak disangka kita masih bisa menjumpai seorang pedagang mainan tradisional menjajakan dolanan ini.

Memang jenis mainan satu ini jika dibandingkan dengan jenis dolanan yang lebih modern kalah jauh. Dari bahannya saja, sudah berbeda. Dolanan rebana-rebanaan tradisional ini terbuat dari gerabah dan kertas semen yang tentu mudah rusak, walaupun harganya masih sangat terjangkau untuk ukuran sekarang. Sementara mainan modern lebih awet dan praktis. Selain itu, produksi dolanan tradisional tadi sudah sangat langka, berbeda dengan dolanan modern yang banyak diproduksi oleh pabrik. Di samping itu suara yang ditimbulkan dari mainan tradisional hanya monoton “tung tung” saja sehingga anak-anak di zaman sekarang kurang tertarik dengan jenis mainan tradisional tersebut.

Namun begitu, tidak berarti mainan tradisional ini sudah tidak bisa ditemui di masyarakat sekarang. Selain masih ditemukan di sekeliling kita, walaupun sudah jarang, mainan tradisional rebana-rebanaan ini juga kadang masih dikoleksi oleh museum atau institusi lain yang peduli terhadap mainan tradisional, khususnya di masyarakat Jawa. Tentu selain bentuk benda aslinya, bisa ditemukan dalam bentuk dokumentasi lain, seperti foto atau berupa audio visual.

Permainan tembak atau bedhil

Permainan tembak atau bedhil

Entahlah, mungkin karena terinspirasi oleh senjata yang pernah dibawa oleh penjajah di kala itu, anak-anak masyarakat Jawa dua generasi dari sekarang atau yang lebih tua, mengenal permainan anak yang disebut dengan istilah Jawa bedhil-bedhilan. Dalam bahasa Indonesia artinya sama dengan permainan yang menyerupai pistol-pistolan. Walaupun sebenarnya kalau dilihat sepintas tidak mirip sama sekali. Namun bisa jadi penamaan itu diambil dari suara yang dihasilkan dari permainan bedhil-bedhilan yang bersuara mirip pistol “dor-dor-dor”.
Itulah sekelumit penamaan permainan bedhil-bedhilan yang dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa tempo dulu. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, walaupun kadang ada pula anak perempuan yang bermain bedhil-bedhilan. Bahan yang sering dipakai diambil dari sekitar lingkungan alam di sekitar rumah. Biasanya anak-anak membuat bedhil-bedhilan dari bahan bambu yang berukuran kecil. Bahan tersebut biasanya diambil dari ranting bambu apus atau beberapa jenis bambu lainnya. Bambu kecil tersebut berdiameter sekitar 1-2 cm dan diambil setiap 1 ruas. Kemudian ruas tersebut dipotong menjadi dua bagian. Bagian bawah dengan ruas tertutup lebih pendek, sementara ruas atas lebih panjang dan dua ujung berlubang. Biasanya dengan perbandingan panjang 1:3. Bambu ruas pendek kemudian dimasuki potongan stik yang berasal dari bambu pula, tetapi biasanya yang sudah kering, agar lebih kuat. Sisa potongan stik kayu dikerut hingga kecil, sehingga bisa masuk pada potongan bambu yang berukuran panjang. Sisa potongan stik kemudian dipotong satu cm lebih pendek dari panjang bambu yang berukuran panjang. Maka jadilah permainan tradisional bedhil-bedhilan.

Sementara peluru yang dipakai biasanya bunga jambu air yang sudah rontok. Bisa yang masih kuncup atau yang sudah mekar. Bunga jambu air itu biasa disebut cengkaruk. Bisa juga peluru berasal dari bunga pohon mlandhing (lamtoro gung yang berukuran kecil) yang masih kecil, belum mekar putiknya. Pohon-pohon tersebut biasanya tumbuh di halaman atau pagar pembatas pekarangan rumah, sehingga ketika zaman itu mudah mencarinya. Dan yang jelas semua bahan gratis tidak usah membeli, tinggal mencari. Jika tidak ada bunga-bunga di atas, bisa pula memakai kertas koran yang sudah dibasahi air. Tetapi untuk peluru yang terakhir ini, sering ngadat (macet) di dalam lubang bedhil-bedhilan, sehingga susah dikeluarkan jika terlalu padat atau kebesaran.

Peluru-peluru yang berasal dari bunga-bunga di atas dimasukkan satu bersatu ke bedhil-bedhilan. Peluru pertama dipukul-pukul hingga masuk dan dibiarkan hingga ujung lubang. Lalu peluru kedua dimasukkan lagi dengan cara sama hingga masuk di pangkal bedhil-bedhilan. Dari pangkal inilah kemudian disodokkan dengan keras sehingga terdengar bunyi “dor” seiring dengan peluru yang pertama terlempar jauh ke depan. Begitu seterusnya hingga bunga-bunga cengkaruk yang dikumpulkan habis, kemudian mencari lagi.
Permainan bedhil-bedhilan biasa dibuat oleh anak-anak sendiri. Anak-anak yang membuat permainan ini biasanya berumur 9-12 tahun. Tetapi kadang-kadang dibuatkan oleh orang dewasa, bisa orang tua maupun saudara-saudaranya yang lebih tua.

Permainan ini cukup awet, apalagi jika bahan yang dibuat sudah kering, bisa bertahan sebulan atau lebih, asalkan tidak pecah terbanting atau keliru memasukkan peluru yang terlalu besar. Tetapi bedhil-bedhilan yang terbuat dari bahan yang masih basah biasanya tidak awet, kecuali sering direndam dalam air. Jika tidak direndam, biasanya berkerut (kusut), sehingga stik sulit dimasukkan.

Permainan bedhil-bedhilan biasa dimainkan saat anak-anak sedang senggang, waktunya bermain. Bisa setelah pulang sekolah atau liburan. Dimainkan secara individu atau kelompok. Kadang-kadang dibuat dua regu yang saling berhadapan, seolah-olah bermain tembak-tembakan beneran. Satu kelompok menyerang kelompok lainnya, saling berkejaran. Begitulah dunia anak di masa lalu sangat senang memanfaatkan bahan dari alam sekitar. Bagaimana dengan anak sekarang? Pasti sudah banyak perubahan.